Sabtu, 05 Januari 2013

Gas-Gas Rumah Kaca


Di bumi, kita mendapatkan energi dari sinar matahari. Kita akan merasakan panas jika matahari sedang bersinar terik karena bumi menyerap sebagian energi dari matahari. Namun demikian, tidak semua energi tersebut diserap. Sebagian energi dipantulkan kembali ke angkasa dalam bentuk panas. Secara alamiah sinar pantulan dari bumi akan dilepaskan ke angkasa sehingga panas di bumi cenderung stabil. Akan tetapi, keadaan ini akan terganggu apabila di atmosfer bumi terdapat kumpulan gas yang dapat menghalangi sinar pantulan ke angkasa. Akibatnya sinar yang seharusnya menjauh dari bumi akan tetap terkumpul di sekitar bumi yang semakin lama semakin banyak dan menjadikan bumi semakin panas.
Fenomena ini dikenal dengan pemanasan global (global warming). Kumpulan gas yang menghalangi sinar pantulan dari bumi disebut dengan gas rumah kaca (green house gases). Efek yang ditimbulkan oleh gas rumah kaca disebut dengan efek rumah kaca (green house effect).
Sejak revolusi industri, aktivitas manusia menyebabkan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca sampai pada tingkat yang tidak diharapkan. Kelimpahan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2) yang mencapai 64% dari seluruh gas rumah kaca di atmosfer. Sedangkan sisanya (36%) merupakan gabungan beberapa gas. Sebelum revolusi industri, kadar CO2 di atmosfer masih relatif rendah, yaitu 280 ppm pada 1860. Dengan semakin banyak pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, kadar CO2 meningkat hingga 379 ppm pada 2005 (Forster et al, 2007).
Berdasarkan guidelines IPCC 1996 yang telah direvisi, yang dikategorikan sebagai gas rumah kaca adalah CO2, metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC, merupakan kelompok gas), perfluorokarbon (PFC, merupakan kelompok gas), dan sulfur heksafluorida (SF6). Gas-gas inilah yang juga menjadi acuan pada Protokol Kyoto (1997). Gas rumah kaca lain yang terdapat pada guidelines IPCC 2006 adalah nitrogen trifluorida (NF3), trifluorometil sulfur pentafluorida (SF5CF3), eter terhalogenasi, dan halokarbon lain. Gas-gas yang mengandung fluorida seperti HFC, PFC, SF6, SF5CF3, dan NF3 dapat dikelompokkan sebagai gas-gas terfluorinasi (fluorinated gases). Gas-gas ini diproduksi terutama sebagai pengganti zat-zat perusak ozon atau Ozone Depleting Substances (ODS), terutama klorofluorokarbon (CFC) atau freon yang banyak digunakan sebagai refrigeran dan propelan aerosol.

Ternyata usaha untuk mengganti zat-zat perusak ozon menimbulkan masalah baru, yaitu pemanasan global. Bahkan, zat-zat tersebut memiliki potensial pemanasan global (global warming potential, GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Sebagai contoh, SF5CF3 memiliki GWP 18.000 kali GWP CO2. NF3, senyawa yang banyak dihasilkan dari proses pembuatan semikonduktor dan pembuatan LCD ini memiliki GWP 16.800 kali GWP CO2. Namun secara keseluruhan, potensi senyawa-senyawa tersebut belum menyamai potensi yang disebabkan oleh CO2, karena emisi CO2 yang sangat besar. Namun, kontrol dini terhadap emisi senyawa-senyawa tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar.

Selain gas-gas rumah kaca yang telah disepakati pada Protokol Kyoto, para ilmuwan juga menyebutkan beberapa zat yang harus diwaspadai karena ikut berperan terhadap pemanasan global. Zat-zat tersebut adalah ozon, uap air, dan aerosol. Zat-zat ini juga dapat dikategorikan sebagai gas rumah kaca. Ozon merupakan gas rumah kaca yang secara kontinyu dihasilkan dan dirusak di atmosfer melalui reaksi kimia. Di troposfer, aktivitas manusia telah meningkatkan kadar ozon melalui pelepasan gas seperti karbon monoksida, hidrokarbon, dan oksida-oksida nitrogen, yang dapat bereaksi secara kimia menghasilkan ozon.

Uap air merupakan gas rumah kaca dengan kadar terbanyak di atmosfer. Namun demikian, aktivitas manusia tidak berpengaruh besar terhadap keberadaan uap air di atmosfer. Aerosol adalah partikel-partikel kecil yang berada di atmosfer dengan ukuran, konsentrasi dan komposisi kimia yang bervariasi. Aerosol di atmosfer berasal dari emisi aerosol secara langsung atau terbentuk dari senyawa-senyawa lain yang ada di atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa, serta proses-proses industri melepaskan aerosol yang mengandung senyawa-senyawa sulfur, senyawa organik, dan jelaga. Aerosol di atmosfer juga dapat muncul dari alam, seperti dari letusan gunung berapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar