Jumat, 16 November 2012

Adenium Obesum




Adenium Obesum

Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Adenium
Spesies:
A. obesum
Adenium obesum

Habitat

Adenium berasal dari Asia Barat dan Afrika  berasal dari daerah gurun pasir yang kering, dari daratan asia barat sampai afrika. Karena berasal dari daerah kering, tanaman ini tumbuh lebih baik pada kondisi media yang kering dibanding terlalu basah. Disebut sebagai adenium, tanaman ini dinamakan adenium karena salah satu tempat asal adenium adalah daerah Aden (Ibukota Yaman).

Morfologi

Adenium berbatang besar dengan bagian bawah menyerupai umbi, namun sosok tanamannya sendiri kecil dengan daun kecil panjang. Akar adenium juga dapat membesar menyerupai umbi. Akar adenium yang membesar seperti umbi adalah tempat menyimpan air sebagai cadangan disaat kekeringan. Akar yang membesar ini bila dimunculkan di atas tanah akan membentuk kesan unik seperti bonsai. Sedangkan batangnya lunak tidak berkayu (disebut juga sebagai sukulen), namun dapat membesar.
Tunas-tunas samping dapat tumbuh dari mata tunas pada batang atau bekas daun yang gugur. Mata tunas samping tersebut akan berfungsi (tumbuh) apabila pucuk atas tanaman dipotong. Hal inilah yang dilakukan orang pada saat memprunning atau memangkas, untuk mendapatkan daun baru dan agar bunga yang akan muncul nantinya lebih serempak.
Daun adenium ada berbagai ragam, bentuk lonjong, runcing, kecil dan besar, serta ada yang berbulu halus, ada pula yang tanpa bulu. Sedangkan bunga adenium berbentuk seperti terompet, berkelopak 5, dengan aneka ragam warna sesuai dengan jenis (varietasnya) masing-masing. Sekarang sudah dikembangkan kelopak bunga yang bersusun dan hasilnya sudah baik bahkan kelopak bunganya ada yang menyerupai susunan bunga mawar.
 Beberapa species asli adenium yaitu :
  1. Adenium arabicum, cirinya bentuk bonggol pendek dan besar, dengan banyak batang yang muncul dari atas bonggol tersebut. Bunganya berwarna paduan putih dan pink, kecil (diameter petal kurang dari 5 cm).
  2. Adenium obesum, cirinya bentuk bonggol besar dan agak memanjang keatas, satu batang tumbuh di atas bonggol, di atas batang muncul percabangan. Bunga berwarna paduan merah dan putih, berbunga besar (lebih dari 5 cm).
Jenis-jenis species adenium lainnya adalah Adenium Socotranum, Adenium swazicum, Adenium somalense, Adenium bohemianum.

  Manfaat

Tanaman yang memiliki bunga yang sangat indah ini , juga dipercaya sebagai tanaman pembawa keberuntungan (Fook Hui Hwa), bagi kalangan Etnis Tionghoa dan pencinta tanaman ini. Bukan Cuma menjadi bunga keberuntungan saja, Tetapi juga bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dan berkhasiat sebagai obatan-obatan.
ADENIUM mengandung racun yang disebut “Crustalline Glicoside”yang bisa mengobati luka. Bedanya diobati dengan racun yang satu ini, luka tersebut akan cepat mengering dan cepat sembuh dibanding dengan obat antiseptik. Bukan Cuma saja Bunga dan Getahnya yang berkhasiat menyembuhkan penyakit, kulit batang ADENIUM  ini juga berkhasiat. Kulit Batangnya mengandung Plumeirud yaitu senyawa glikosida yang bersifat racun, sehingga sangat mujarab dipergunakan untuk membunuh kuman . Pada dosis tertentu bisa mengobati sakit gigi dan luka. Namun sangat dianjurkan Getah ADENIUM tersebut jangan sampai tertelan.
Kulit batangnya sangat efektif untuk mengobati penyakit kulit (frambusia)

Selasa, 06 November 2012

Hore! Ada Obat Penghilang Kenangan Buruk yang Sulit Dilupakan



Kenangan buruk kerap membekas dalam ingatan dan sulit dilupakan. Seringkali ingatan itu terlintas tiba-tiba saat sedang melamun atau melihat benda yang mengingatkan kejadian serupa. Akibatnya hal itu bisa membuat orang jadi depresi. Nah, baru-baru ini ditemukan obat yang bisa menghilangkan kenangan buruk.

Kenangan-kenangan buruk ini merupakan masalah berat yang dihadapi pengidap gangguanpost traumatic stress disorder (PTSD). Penderitanya seringkali teringat kejadian traumatis apabila dipicu peristiwa tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasinya, para peneliti dari Stanford University melakukan serangkaian percobaan pada tikus.

Awalnya tikus dikondisikan agar mengalami PTSD. Ketika mencium bau melati, kaki tikus akan disetrum tak lama sesudahnya. Ketika tikus tertidur, para peneliti memberikan bau melati untuk memperkuat ingatan antara bau melati dan rasa nyeri. Esoknya, tikus menggigil ketakutan ketika mencium bau melati.

Sebuah obat antibiotik bernama anisomycin disuntikkan ke dalam amigdala di otak tikus yang berfungsi dalam penyimpanan memori. Penyuntikan dilakukan sebelum tikus diberi bau melati saat tertidur. Keesokan harinya, tikus yang disuntik tak begitu takut lagi ketika mencium bau melati dibandingkan tikus yang tak disuntik.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tidur, kenangan traumatis tikus ini melemah. Saat tidur, pikiran tidak berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Obat ini diyakini berpotensi bisa melindungi seseorang dari trauma dalam situasi lain," kata peneliti, Asya Rolls sepeti dilansir Science News, Selasa (6/11/2012).

Dalam pertemuan tahunan Society for Neuroscience, Rolls menerangkan bahwa tidur adalah keadaan di mana otak berada di luar kendali kesadaran. Pikiran dapat melihat kenangan yang tersimpan rapat ketika masih terjaga. Mengaktifkan kenangan traumatis selama tidur tidak begitu menyakitkan sehingga dapat meminimalisir kendala yang muncul saat teringat kenangan traumatis.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kenangan menakutkan bisa diperkuat saat tidur. Oleh karena itu, tetap terbangun bisa mencegah pembentukan kenangan yang tak menyenangkan. Dengan temuan Rolls ini, orang tak perlu harus selalu terbangun untuk menghilangkan kenangan buruk.

"Namun masih terlalu dini untuk mengatakan obat ini dapat bekerja pada manusia. Obat yang digunakan dalam penelitian ini dipilih karena mentarget produksi protein dalam sel, sebuah proses yang memperkuat memori saat tidur. Obat tersebut memiliki efek samping dan tidak mungkin disuntikkan ke dalam otak manusia," kata Rolls.

Senin, 05 November 2012

Asal Usul Kemampuan Bernafas Manusia Terungkap



Ilmuwan dari Universitas Alaska di Fairbanks berhasil mengungkap proses evolusi atau asal usul vertebrata, termasuk manusia, hingga bisa memiliki kemampuan bernafas.

Hasil penelitian tersebut dipresentasikan di pertemuan tahunan Society for Neuroscience pada Rabu (17/10/2012) hari ini di New Orleans, Amerika Serikat.

Michael Harris, pimpinan tim peneliti, mengungkapkan, "Untuk bernafas dengan paru-paru, Anda butuh lebih dari sekedar paru-paru. Anda perlu jejaring saraf yang peka terhadap karbon dioksida."

Menurut Harris, jejaring saraf itulah yang membuat manusia atau golongan vertebrata lain mampu menghirup oksigen yang kemudian diubah oleh sel menjadi energi serta mengeluarkan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme.

Proses evolusi kemampuan bernafas manusia dan vertebrata lain tak lepas dari perkembangan jejaring saraf yang peka karbon dioksida, yang oleh Harris disebut "generator irama".

Dalam penelitiannya, Harris mencoba mencari asal usul generator irama tersebut. Ia meyakini, kemampuan bernafas tidak berasal dari hewan yang sudah punya paru-paru tetapi yang memiliki generator irama.

"Kami mencoba meneliti contoh hidup hewan yang tak bernafas, seperti lamprey dan mencoba melihat bukti generator iramna yang bisa melakukan aktivitas selain pernafasan," kata Harris seperti dikutip Science Daily, Selasa (16/10/2012).

Lamprey merupakan jenis ikan primitif. Fauna itu tak punya paru-paru dan tak bernafas dengan mekanisme yang sama dengan vertebrata. Sebagai larva, lamprey hidup di lumpur. Sementara, oksigen dan makanan didapatkan dengan memompa air ke tubuhnya. Lamprey punya perilaku mirip batuk pada untuk membersihkan diri dari lumpur. Perilaku ini dikendalikan oleh pusat generator irama di otak.

"Kami berpikir bahwa perilaku batuk pada lamprey mirip dengan pernafasan pada amfibi," kata Harris.

"Ketika kami mengambil otak lamprey dan mengukur aktivitas saraf yterkait pernafasan, kami menemukan pola yang menunjukkan aktivitas pernafasan dan generator irama yang sensitif dengan karbon dioksida," sambung Harris.

Evolusi berjalan hingga kemampuan bernafas kemudian dimiliki oleh ikan. Dalam perkembangannya, terjadi evolusi yang memunculkan hewan darat, meliputi amfibi, reptil dan mamalia. Kemampuan bernafas pun terus berevolusi sesuai lingkungan yang dihadapi. Kemampuan bernafas manusia saat ini tidak terlepas dari proses panjang di belakangnya.


Sumber :
Science Daily

Matematika Bisa Menyakitkan


Matematika bisa membuat seseorang benar-benar merasakan sakit secara fisik dalam kondisi tertentu. Inilah yang terungkap dalam riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLoS ONE, Rabu (31/10/2012).

Tim peneliti yang dipimpin oleh Ian Lyons, psikolog dari Universitas Chicago, melkukan observasi pada 14 orang mengalami kecemasan tinggi pada matematika (High Math Anxiety) dan 14 orang dengan tingkat kecemasan pada matematika yang rendah (LMA).

Tingkat kecemasan diidentifikasi oleh individu itu sendiri. Parameter kecemasan dinilai dari rasa gelisah saat berjalan menuju kelas matematika atau saat harus mengambil mata pelajaran matematika untuk lulus dari studi.

Dalam riset, orang yang mengalami HMA dan LMA diberikan satu seri soal matematika dan soal cerita. Peserta diminta melihat monitor sementara aktivitas otaknya dilihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Di layar, akan tampak lingkaran kuning dan kotak biru sebagai tanda jenis soal selanjutnya, apakah matematika atau soal cerita.

Hasil riset menunjukkan, saat sinyal soal matematika keluar, aktivitas bagian otak yang terkait dengan rasa sakit pada orang dengan HMA tiba-tiba meningkat. Semakin cemas, maka semakin tinggi pula aktivitas bagian itu. Hal yang sama tak dijumpai pada orang dengan LMA.

Riset tersebut menunjukkan bahwa dengan kondisi tertentu, matematika benar-benar bisa memicu rasa sakit. Namun, peneliti mengingatkan, bukan berarti matematika harus dimusuhi. Sebab, rasa bukan datang dari matematika itu sendiri.

"Karena temuan kami spesifik pada aktivitas terkait isyarat tertentu, bukan matematika itu sendiri yang memicu rasa sakit, tetapi antisipasi pada matematika itu yang menyakitkan," papar Lyons dalam publikasinya.

Sebelumnya, peneliti lain juga telah menemukan bahwa rasa sakit fisik bisa disebabkan oleh pengalaman sehari-hari. Sebagai contoh, putus cinta dan penolakan sosial terbukti mengakibatkan sakit secara fisik.

Sumber :
LiveScience